Senin, Juli 07, 2014

POLITIK DAN HATI NURANI-Franz Magnis-Suseno SJ



Politik dan hati nurani

1.      Politik dan hati nurani
2.      Politik bukan rebutan kuasa antar elit, melainkan medan di mana kesejahteraan, keselamatan, keamanan, harkat dan martabat bangsa diusahakan.
3.      Karena itu perpolitikan terada di bawah imperatif etis: Harus dilakukan berdasarkan hati nurani.
4.      Hati nurani menuntut: kita tanpa kecuali memilih yang baik dan bukan yang jahat, yang adil dan bukan yang tidak adil, yang jujur dan bukan yang bohong, yang bertanggungjawab dan bukan yang seenaknya, yang memajukan semua dan bukan hanya saya dan keluarga saya.

Tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang

5.      Mengatasi kemiskinan
6.      Konflik-konflik sosial (daerah, etnis, agama, tawuran)
7.      Membela pluralisme agama-agama
8.      Korupsi

Tantangan bagi kita

9.      Kita tidak menarik diri dari tanggungjawab bangsa
10.  Melainkan kita meneruskan yang telah menjadi sikap kaum Kristiani Indonesia sejak semula: kita melibatkan diri dalam perjuangan nasional.
11.  Golput dalam demokrasi bukan pilihan bertanggungjawab.

Yang perlu kita perjuangkan adalah kehidupan bernegara berdasarkan Pancasila

12.  Pancasila: Cita-cita, nilai-nilai dan norma etis dasar kehidupan berbangsa dan bernegara
13.  Makna Pancasila: Indonesia milik seluruh bangsa, tanpa diskriminasi
14.  Lima nilai Pancasila tidak boleh dikebiri sebagai nilai-nilai tradisional mengharukan saja, melainkan membawa tuntutan yaitu agar negara kita diselenggarakan atas dasar-dasar etika politik yang tak ditawar-tawarkan, yaitu
·         Kebebasan beragama
·         Jaminan hak-hak asasi manusia
·         Kita satu bangsa, agama dan etnik tak boleh memecah-belahkan kita
·         Demokrasi
 ·         Keadilan sosial

Kesimpulan

15.  Seruan di kalangan yang sakit hati karena kehilangan privilese terhadap bangsa agar kita "kembali (lagi) ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen" harus dibuka kedoknya dan ditolak.
16.  Kita harus menentang segala usaha pembongkaran kembali amendemen-amendemen yang telah menanamkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia ke dalam undang-undang dasar kita.
17.  Demokrasi dan hak-hak asasi manusia tidak boleh ditawar-tawar lagi

Materi ini disampaikan oleh Prof. Franz Magnis-Suseno SJ pada seminar sehari @UKI

Indonesia Raya

Indonesia Tanah Airku
Tanah Tumpah Darahku
Disanalah Aku Berdiri
Jadi Pandu Ibuku

Indonesia Kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah Kita Berseru "Indonesia Bersatu"

Hiduplah Tanahku, Hiduplah Negeriku
Bangsaku Rakyatku, Semuanya
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya

Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka
Tanahku Negeriku Yang Kucinta
Indonesia Raya, Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya


__________________________________________

hingga sekarang, tetap terharu menyanyikan lagi ini,, Indonesiaku...
dee-idea.blogspot.com


menuliskan hrapan untuk Indonesia, bukan hanya sibuk mengangkat satu jari atau dua jari!!!

DUNIA HELENIS PADA AWAL SEJARAH GEREJA



1.      Keadaannya secara lahiriah. Latar belakang politik tempat gereja mulai timbul adalah kekaisaran romawi yang dapat digambarakan sebagai pemerintahan adidaya dengan sistem monarki mutlak, bahasa persatuan (dapat dikatakan demikian) adalah bahasa Yunani/Koine. Kegiatan masyarakat dapat berjalan selama kegiatan itu tidak mengganggu ketentraman yang ditentukan kaisar dan pemerintah dengan segala kebijakannya. Dalam masa ini juga perjalanan Paulus dan rekan-rekannya dalam mengabarkan injil ke berbagai tempat daerah kekuasaan kekaisaran romawi, memang susah digambarkan dua sisi paradoks dari perjalanan rasul paulus, disatu sisi kemakmuran terjadi ditempat mereka mengabarkan injil, namun disisi lain mereka menderita dianiaya oleh karena iman kepada Kristus.

2.      Keadaan secara batiniah. Daerah-daerah yang tunduk atas kekaisaran romawi tidak sepenunya tunduk dalam segala hal, misalnya kebudayaan dan tradisi, masing-masing memelihara tradisi kaum mereka, demikian pula yang ada dalam lingkungan pusat kekaisaran romawi, misalnya Yunani bagian timur dan barat yang dasar-dasar rohaninya rubuh akibat banyaknya kepercayaan yang bertumbuh sehingga membingungkan mereka yang hidup berdampingan, meskipun agama negara ada secara resmi namun minat terhadap hal-hal rohani bertambah besar, ditambah pula dengan meluasnya daerah kekuasaan romawi disebelah timur Laut Tengah yang juga membawa aliran rohani yang baru yang belum dikenal di bagian barat kekaisaran.

3.      Pengaruh agama-gama timur. Yang menawarkan kelepasan bagi manusia, yang memang dirindukan oleh masyarakat oleh karena kesukaran, dengan  cara beraskese dan memberikan ilmu kebajikan yang menghiburkan hati dan pengharapan akan kehidupan sempurna di akhirat. Pengaruh penyembahan kepada dewa-dewi dan agama-agama rahasia Yunani berkembang dan mengajarkan bahwa dnia yang fana ini hanya sementara dan menggapai kesempurnaan dengan askese dan dipercaya bahawa jalannya berbeda-beda. Pantheisme dan dualisme yang berlawanan dengan Alkitab dan Gereja Kristen memilki pengaruh besar dalam perjalanan perkembangan hidup dan theologia gereja sepnjang abad.

4.      Penyembahan kepada Kaisar. Ini mejadi perselidihan yang besar antara pemerintah romawi dan Gereja Kristen sehingga menyembabkan banyak penderitaan bagi kaum Kristen, hl ini disebut juga dengan istilah Pax Romana, kaisar dianggap anak ilahi bahkan ilahi sendiri yang dapat memberikan perlindungand an harus disembah dan diberikan persembahan khusus terhadapnya.

5.      Ilmu filsafat. Memang aliran filsafat yang ada dan berkembang pada waktu geraj memasuki dunia zaman helenisme itu banyak dan berbeda, namun  semua aliran itu secara benang merah memiliki tujuan yang sama yakni membaharui kesusilaan dan meberikan kesenangan batiniah yang diinginkan untuk memerdekakan rohani mereka. Ajaran plato juga masih banyak dipelajari dibagian barat, maka muncullah anggapan bahwa jiwa manusia terkurung dalam tubuh yang jahat, yaang dapat dilakukan adalah beraskese dan berekstae, itulah ajaran yang berkembang pada masa itu. //sumber.buku_sejarah_gereja//Berkhof*Enklaar//

Etos 6 Jansen Sinamo//“Seni/Art” Keguruan,






berbicara mengenai seni tentu ada karya visual dalam keguruan tersebut, bab ini memberikan sebuah pandangan kepada para semua orang khususnya guru untuk mengajar dengan cerdas yang kreatif, kreatifitas merupakan wujud nyata dari kecerdasan[1]

Maka guru tidak hanya dituntut untuk cerdas, tapi juga kreatif dalam segala hal, menjadi kreatif membuat guru dapat berexplorasi lebih jauh dalam menyajikan materi, kekreatifan guru juga dapat menggugah  keinginan murid untuk belajar, misalnya melalui media dan metode belajar (sosio drama, praktikum, studi lapangan, studi kasus, kunjungan ilmiah, dll)[2], dalam konteks ini saya ambil contoh seperti mata pelajaran matematika, yang menjadi momok yang menakutkan bagi para siswa dapat menjadi subjek yang paling digemari oleh siswa oleh karena hasil kreatifitas guru, kreatif tidak harus selalu mahal dan canggih hal ini dibuktikan oleh tokoh guru yang “menggubah partisipatif matematika secara gasing dan membumi”, hal ini dapat terjadi karena  mereka memiliki sumber gairah utuk mengajar,  yaitu kebahagiaan ketika murid yang diajar berhasil, guru merupakan status sosial yang terhormat, memiliki struktur yang terpola melalui kreatifitas artistik dan estetik, dan keberhasilan yang terulang membuat guru bahagia dan termotivasi untuk memberi lebih banyak lagi bagi profesinya dan anak-anak didiknya, dalam hal ini guru merupakan “mitra Sang Pencipta atas pekerjaanya memanusiakan manusia”.  

Kecintaan terhadap Nusantara ini membuat kreatifitas akan mencuat kepermukaan, cinta ini harus terus diperdalam, dan sebagai guru Ibu Soed telah memberi contoh kepada kita untuk memberikan karya dan hidup kita bagi bangsa ini, melalui profesi keguruan, kita dapat memberikan karya yang bermutu dan tak usang bagi kehidupan dimasa mendatang, yaitu dengan mendidik setiap generasi yang menjadi harapan dengan penuh cinta kasih dan seluruh kreatifitas kita.

Namun sukacita yang melimpah sebagai guru tidak lagi  membuat beberapa orang menikmati profesi mereka, hal ini karena mereka menganggap profesi guru sebagai beban[3]  tidak mampu melihat sisi baik dari situasi yang buruk, karena keindahan mengajar memang tak kasat mata yang nyata secara gamblang, dan paradigma yang salah mengenai profesi keguruan. Lalu bagaimana mengobarkan semangat mengajar dan tidak tenggelam dalam paradigma yang salah tersebut? Jawabannya adalah Antusiasme yaitu dengan memaknai keguruan secara mendalam untuk mendapat sukacita, kekuatan mental dan tenaga spiritual.

Jika sebagai guru kita menganggap profesi keguruan sebagai seni maka kita adalah senimannya dan anak murid kita adalah materi yang harus kita bentuk, dengan demikian tidak akan ada beban selain keinginan kita untuk bekerja lebih agar mendapatkan hasil karya yang terbaik yaitu ketika anak didik kita berhasil menjadi manusia seutuhnya. Hal ini telah dibuktikan oleh Leonardo Davinci melalui hasil karya seni yang menggugah decak kagum setiap insan yang melihatnya, dia memiliki minat, vitalitas yang tinggi terhadap pekerjaanya dan menikmati pekerjaannya sebagai seniman, sama halnya sebagai yang guru harus bersinergi dengan para didik melalui minat mereka, memahami mereka dan membantunya mengembangkan bakatnya membuat kita menikmati setiap proses perkembannya. Dalam proses ini akan terlihat karya seni seorang guru.

Melakukan hal yang digemari, jika dilakukan dengan konsisten maka akan membuahkan, baik itu hal positif atau negatif, maka disinilah peran guru mengarahkan para murid, bakat dan kegemaran tidak mesti terhadap materi yang  mahal, hal ini dibuktikan oleh “menteri internet” kita, bapak Onno W. Purba, yang menghabiskan waktunya untuk trial n error rakit-merakit dan praktek dengan barang bekas, hal itu meberinya pengetahuan lebih dari teman-temannya dan membuahkan hasil yang tidak murah pada akhirnya, kisah yang penuh dengan kecerdasan, kreativitas dan seni yang menggugah semangat.

Sebenarnya setiap orang adalah cerdas, kecerdasan sebagai kemampuan akal budi sebagai kecerdasan mendasar, kecerdasan sebagai kemampuan aktif, yaitu melakukan hal secara terstruktur tersistem dan terbingkai dan kecerdasan sebagai tingkat lanjut yaitu kemampuan perasaan–kemauan kita yaitu sebagai navigator, kreatifitas adalah kefasihan memproduksi gagasan dan konsep, kreatif ini juga ada tingkatannya, yaitu fluency, mix of ideas, elaboreteness, novelty. Korelasinya adalah semakin cerdas seseorang semakin kreatif pula dia dalam berbagai hal,  dan seni sendiri merupakan produk kreatifitas, sehingga mengajar dengan etos seni berarti bekerja dengan mengexpresikan jiwa kreatif-artistik kita sebagai wujud kecerdasan, dengan demikian maka kita sesungguhnya sedang mencintai Allah dan semua ciptaanNya.

Bab ini sangat penting dibaca oleh setiap orang, karena setiap orang adalah guru dan sumber  belajar bagi orang lain, tetapi terkhusus bagi guru dan para calon guru, bab 6 ini akan mengajarkan kita untuk mencintai profesi keguruan, karen sebagai guru dan calon guru tidak cukup hanya sekedar mengajar para murid sebagai rutunitas, dan melakukannya dengan hambar, guru sebagai role model penting untuk memahami kreatifitas dalam bab ini, dengan membaca dan memahami bab ini maka setiap guru tidak akan kehilangan gairah mengajarnya dan akan melihat profesi keguruan sebagai keindahan hidup dan bukan sebagai beban, karena menjadi guru merupakan menjadi orang yang sangat terhormat karena menjadi pahlawan dari para pahlawan.

Bab ini jika diterapkan dalam pengajaran Pendidikan agama Kristen, maka sudah barang tentu hasilnya akan sangat beragam, karena sebagai guru, terlebih dahulu kita harus hidup baru agar kita dapat melihat ke dalam diri[4] kita untuk menemukan cara yang tepat untuk menjadi kreatif dan berseni dalam pengajaran Pendidikan Agama Kristen. Sesungguhnya kreatifitas ini telah sejak dulu digunakan oleh para guru tidak terkecuali dalam Pendidikan Agama Kristen, bab ini justru sangat membantu para Guru Sekolah Minggu dalam mendidik anak sesuai Pendidikan Agama Kristen, karena “Syarat yang terpenting bagi seorang guru ialah kepribadiannya sendiri. Sebuah teladan lebih berharga daripada seratus kata nasehat. Perbuatan seseorang lebih berpengaruh daripada perkataannya”[5]

Jadi saya menyimpulkan bahwa “apapun yang kita perbuat hendaklah kita perbuat dengan kasih dan sukacita”, karena yang tugas kita sebagai guru sangatlah mulia dan haruslah kita ajarkan kepada setiap generasi. Karena  tugas kita untuk mengajar dan menjadikan seluruh bangsa menjadi murid-Nya.(disadur untuk Pendidikan Kristen, bisa disesuaikan dengan Pendidikan lainnya).


[1] 8 Etos Keguruan, Jansen Sinamo, Bab 6 hal 152-181s
[2] Berita Citi Success Fund: Situs Guru, Guru Penerima Dana CSF 2009.
[3] http://edyutomo.com/pendidikan/profesionalisme-guru- Faktor Rendahnya Profesionalisme Guru
[4]  Sebuah Cara Baru untuk Hidup karya Joyce Meyer hal 23, 49
[5] J.M. Prince, Yesus Guru Agung  (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, t.t.p) hal 5